PesanTrend.co.id - Di ujung timur Pulau Jawa, Banyuwangi perlahan menjelma menjadi pionir dalam pengelolaan sampah berbasis sirkular. Lewat program bertajuk Banyuwangi Hijau, daerah ini tak hanya menggandeng warga lokal, tapi juga mengguncang panggung internasional. Dukungan datang dari Austria dan Uni Emirat Arab (UEA), membuka jalan bagi pembangunan tiga fasilitas pengolahan sampah modern berkapasitas total 260 ton per hari.
Kisah ini berawal dari penandatanganan perjanjian pendanaan dalam ajang World Governments Summit 2025 di Dubai, Februari lalu. Di hadapan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, para pemangku kepentingan dari UEA, Clean Rivers, dan Pemkab Banyuwangi menyegel kerja sama. Sebuah langkah besar yang menjanjikan masa depan baru bagi pengelolaan limbah di daerah ini.
“Tim dari Clean Rivers sudah datang ke Banyuwangi, meninjau program yang sudah berjalan. Ini menunjukkan mereka serius,” ujar Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, Rabu (14/5/2025).
Baca Juga :Fasilitas yang akan dibangun mencakup satu TPS Reduce, Reuse, Recycle (3R) di Kecamatan Purwoharjo dan dua Stasiun Peralihan Antara (SPA) di lokasi lainnya. Launching dijadwalkan akhir Mei. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, sampah di 83 desa dari berbagai kecamatan akan tertangani dengan lebih sistematis.
Cerita Banyuwangi Hijau tidak dimulai tahun ini. Enam tahun lalu, Banyuwangi memulai babak baru lewat Project Stop, program kolaboratif yang membangun TPS 3R di Muncar. Kapasitasnya relatif kecil 8 dan 10 ton per hari namun cukup untuk menjangkau 10 desa. Perlahan, langkah kecil itu menjadi fondasi kuat.
Fase pertama Banyuwangi Hijau hadir lewat TPS 3R di Desa Balak, Kecamatan Songgon, yang kini mampu mengelola 84 ton sampah per hari. “Fase dua dan tiga akan memperluas jangkauan ke lebih banyak desa,” jelas Dwi Handayani, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi.
Deputy Program Manager Project Stop, Prasetyo, menambahkan, TPS di Purwoharjo (fase 2) akan melayani 37 desa, sementara dua SPA (fase 3) akan mencakup wilayah yang belum tersentuh. "SPA ini penting sebagai penghubung antara sumber sampah dan pengolahan akhir,” katanya.
Meski tampak menjanjikan, tak sedikit yang menyuarakan kehati-hatian. Ketergantungan pada dukungan asing memicu pertanyaan tentang keberlanjutan dan kemandirian lokal.
“Bagus ada bantuan, tapi jangan sampai kita hanya jadi penonton. Harus ada transfer teknologi dan pelibatan masyarakat lokal secara serius,” ujar seorang aktivis lingkungan lokal yang enggan disebutkan namanya.
Tantangan lainnya datang dari dalam: kesiapan infrastruktur, kesadaran warga dalam memilah sampah, dan sistem logistik pengangkutan. Ketiganya menjadi kunci agar program ini bukan hanya monumen proyek, melainkan solusi jangka panjang.
Di tengah berbagai dinamika, satu hal pasti: Banyuwangi tengah menapaki jalan panjang menuju tata kelola sampah yang lebih beradab dan berkelanjutan. Dengan dukungan global dan semangat lokal, asa itu bukan tak mungkin terwujud.
Namun seperti kata pepatah, “bantuan datang dari luar, tapi perubahan sejati lahir dari dalam.”
Banyuwangi kini dihadapkan pada pilihan: menjadi simbol keberhasilan kolaborasi lintas batas, atau sekadar penerima bantuan yang tidak mandiri. Jawabannya akan tergambar dalam waktu dekat. (amn)